
INDOPOS-Mayor Jenderal TNI Purn Prijanto menilai Forum Purnawirawan TNI yang mendorong pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka,merupakan warga negara Indonesia, yang mengambil pengabdiannya menjadi prajurit TNI. Ketika mereka dulu belum berdinas, masih awal pendidikan Taruna, mereka sudah berikrar :
_Biar badan hancur lebur, kita kan bertempur; Membela keadilan suci, kebenaran murni; Di bawah dwi warna panji, kita kan berbakti; Mengorbankan jiwa dan raga, membela ibu pertiwi; Demi Allah Maha Esa, kami nan bersumpah, setia membela nusa dan bangsa, tanah tumpah darah._ (Prijanto bernyanyi sambil mengikuti musik dari youtube).
Setelah berdinas, punya pedoman hidup Sapta Marga dan Sumpah Prajurit yang bernilai pengabdian kepada bangsa dan negara.
Mereka bukan orang-orang yang sedang mencari pekerjaan dan jabatan, melainkan para patriot yang ingin terus mengabdi kepada bangsa dan negaranya, sampai akhir hidupnya. Bagi purnawiran TNI AD, dalam buku perjuangan PPAD juga dinyatakan bahwa Purnawirawan prajurit TNI AD, memiliki hak untuk menyatakan pendapat sebagaimana hak warga negara yang diatur dalam konstitusi, tutur Prijanto mantan Ketua PPAD DKI Jakarta.
Meski saya tidak masuk dalam kelompok Forum Purnawirawan prajurit TNI itu, tapi saya tahu beliau-2 adalah prajurit-prajurit yang tetap semangat untuk mengabdi, ujar Prijanto, dalam diskusi Quovadis Amandemen UUD 1945, yang digelar di Jl Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat, Sabtu (3/5/2025).
Walau usianya sudah sepuh-sepuh, tetapi kata Prijanto, semangatnya tetap membara. Mari kita lihat statement dari bapak AM Hendropriyono, bahwa usulan yang diusung Forum Purnawirawan TNI itu terukur dan aspirasi di negara demokrasi. Tentu kita dapat mengartikan terukur, sebagai bahasa diplomatis, yang punya makna, bukan asal-asalan, imbuh Prijanto.
Walau demikian, bapak Hendropriyono mengatakan lebih mengutamakan stabilitas nasional. Tetapi apakah stabilitss nasional suatu negara bisa tercapai, kalau konstitusinya, atau hukum dasarnya, masih menjadi polemik? Percaya nggak konstitusi kita masih menjadi polemik, ujar Prijanto.
Peringatan konstitusi tahun 2023 kemarin, Ketua MPR Bapak Bambang Soesatyo mengatakan, adanya diskursus bangsa Indonesia terhadap konstitusi Indonesia. Satu diskursus ingin mempertahankan hasil amandemen, atau sering kita sebut singkat Undang-Undang Dasar 2002.
Diskursus kedua adalah melakukan amandemen terbatas. Kelompok ini menilai MPR perlu Utusan Golongan. MPR perlu sebagai lembaga tinggi negara yang tertinggi, punya hak membuat Tap MPR.
Diskursus ketiga adalah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, untuk disempurnakan dengan adendum.
Jadi, saat ini ada permasalahan terkait konstitusi atau hukum dasar tertulis kita, sehingga mengganggu stabilitas nasional. Jika persoalan ini tidak diselesaikan, Imposibel stabilitas nasional bisa tercapai, kata Prijanto.
Maka saya terima kasih kepada Pak Prihandoyo, terselenggaranya acara ini. Kita ini berbeda pendapat, tapi mari kita pikirlah. Hukum dasar atau konstitusi yang jelas, yang tidak jadi polemik, kan gitu ya.
Oke, balik kepada pernyataan Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Terus ada Pak Try Sutrisno mengetahui dan tanda tangan. Untuk diketahui, Pak Try Sutrisno itu sejak tahun 2000-an, sudah mengingatkan tentang amandemen. Bahwasanya, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tetap, nggak diubah dan amandemen dilakukan dengan adendum.
Apa arti adendum? Arti adendum itu kalau di dunia bisnis, ada perjanjian bisnis, ada yg lupa, terus ditambahi pasal. Perjanjian asli tetep. Tetapi kenyataannya kesepakatan para elite tersebut diingkari MPR. Perubahan tidak dengan adendum. Bagian Penjelasan dihapus.
Menurut Profesor Jimly Asshiddiqie, Prof Maria Farida Indarti, almarhum Profesor Kaelan dan banyak profesor lainnya yang mengatakan hasil amandemen adalah konstitusi baru. Jadi bukan Undang-Undang Dasar 1945 lagi.
Prijanto mrmbenarkan pak Jacob Tobing, bahwa konsep rancangan UUD dari BPUPKI dibawa ke sidang PPKI belum ada Pasal 37. Selanjutnya Prijanto lebih menjelaskan lagi, atas usul anggota Iwa Koesoema Soemantri bahwa yang dikandung maksud Pasal 37 UUD 1945 oleh Mr. Soepomo dalam sidang PPKI adalah untuk perubahan yang bersifat teknis. Bukan untuk mengganti atau mengubah nilai-nilai UUD 1945.
Jadi, jika dikatakan amandemen atau perubahan yang faktanya mengganti undang-undang dasar dengan Pasal 37 UUD 1945, tidaklah tepat. Artinya, inkonstitusional.
Terkait isi pernyataan sesungguhnya nomor satu pokoknya. Berikutnya sampai kedelapan terkait Wapres Gibran hanya pernik-pernik dari masalah UUD 2002.
Putusan MK terkait Wspres Gibran itu kan terkait putusan MK yang sampai dengan saat ini menjadi polemik. Putusan MK membuat muatan pasal itu menjadi norma baru. Padahal tugas MK itu hanya memutuskan yang dimohonkan. Telah terjadi penyelundupan hukum, kata Prijanto mengutip pendapat Yusril.
Putusan MK dinilai melebihi yang dimohonkan, telah terjadi _ultra petita._ Narasi UUD 2002 bak Undang-Undang. Njlimet dan mengunci. Bagaimana mungkin sumber Hakim Konstitusi diatur dalam konstitusi? Sumbernya pun dari unsur yang memiliki peluang bersengketa, ujar Prijanto. Tapi _”ndelalah kersaning Allah”_ Undang-Undang Dasar 2002 mengatur, putusan MK final. (*)