INDOPOS-Jakarta – Sidang pembuktian pemeriksaan ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara sumpah palsu dengan terdakwa Ike Farida hari ini, Kamis (31/10/2024) mengagendakan pemeriksaan keterangan saksi ahli pidana, Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH., MH., MBA.
Dalam keterangannya, Ahli menjelaskan beberapa hal tentang pemenuhan unsur pidana menurut pasal 242 KUHP dan hubungannya dengan sumpah novum.
Ketika ditanya JPU tentang makna Pasal 242 KUHP dalam kasus sumpah palsu, Ahli menerangkan bahwa yang dapat di pidana dengan pasal itu adalah orang pribadi atau orang menyuruh kuasanya.
Ahli juga menjelaskan tentang doktrin unsur pemidanaan harus ada opzet (kesengajaan), actus reus (perbuatan salah) dan mens rea (niat jahat).
Dalam kasus sumpah palsu Ike Farida unsur pemidanaan tersebut dimulai ketika PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) tidak bisa dilaksanakan kemudian pengembang berniat mengembalikan uang yang telah dibayarkan, dan bahkan telah mengajukan konsinyasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan dikabulkan. Namun, Ike Farida malah melaporkan pengembang ke polisi dengan tuduhan penggelapan dan kasusnya dihentikan karena tidak ada unsur pidananya (SP3). Kemudian Ike Farida mengirim somasi sebanyak tiga kali dan berlanjut menggugat pengembang dengan tuduhan wanprestasi hingga perkaranya berlanjut sampai hari ini.
“Jadi, tadi sudah saya terangkan di depan sidang, bahwa yang katanya upaya hukum, namun kalau saya bilang itu suatu mens rea (niat jahat). Pertama, mensomasi tiga kali berturut-turut selama tiga minggu. Kedua, laporkan pidana yang kemudian di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan karena tidak ada bukti adanya delik pidana). Ketiga, pihak perusahaan (pengembang) menitipkan uangnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemudian dibantahnya (Ike Farida) dan tidak mau ambil,” urainya.
Lalu, keempat, dia menggugat perdata. Dan, kelima terjadinya PK (Peninjauan Kembali) dengan novum yang seolah-olah baru ditemukan itu. “Apa itu bukan mens rea? Katanya itu upaya hukum, tapi kan itu menyerang habis dengan berbagai cara,” kata Suhandi kepada awak media, Kamis (31/10/2024).
“Terkait terpenuhi atau tidak Pasal 242, biarlah Majelis Hakim yang menilai. Begitu juga bersalah atau tidaknya (Ike Farida), biar Hakim yang menentukan,” imbuh Suhandi.
Kuasa hukum Ike Farida sempat mempertanyakan mengapa Hakim Ketua tidak memberi peringatan terlebih dahulu sebagaimana Pasal 174 KUHP sebelum ditetapkan pidana sumpah palsu Pasal 242 KUHP? “Karena sumpah sudah dilakukan dan novum telah digunakan dalam perkara perdata sebelumnya,” kata Suhandi.
Kuasa hukum Ike Farida, Kamaruddin Simanjuntak juga menanyakan pendapat Ahli kalau ada surat Kapolri kepada Polda Metro Jaya yang tidak mens rea dan actus reus dalam perkara ini. Ahli menjawab bahwa dia tidak pernah melihat surat tersebut. Kamaruddin juga mempertanyakan pendapat ahli mengenai penerapan Pasal 55 KUHP. Ahli menjelaskan bahwa perbuatan pidana kemungkinan dilakukan lebih dari satu orang atau dan kawan-kawannya.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam kasus sumpah palsu dengan terdakwa Ike Farida berkaitan dengan sumpah novum yang dilakukan oleh Nurindah Melati Monika Simbolon berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh Ike Farida.
Perkara ini berkembang menjadi laporan pidana sumpah palsu karena sumpah novum yang dilakukan Nurindah tersebut menyertakan novum Surat Kanwil BPN DKI Jakarta Nomor 3212 tertanggal 27 November 2015 yang sudah pernah digunakan pada perkara sebelumnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan tertera dalam salinan putuşan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2015, yang dituliskan sebagai bukti P-65.
Selain itu, Sumpah Novum juga menyertakan novum pencatatan pelaporan akta perkawinan pisah harta antara Ike Farida dan suaminya pada tahun 2017, yang sudah pernah digunakan sebagai bukti dalam upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sehari sebelumnya, Rabu (30/10/2024), saksi ahli digital forensik menyebutkan bahwa pihaknya telah memeriksa barang bukti elektronik berupa telepon genggam milik Nurindah untuk mengetahui percakapan antara Nurindah dengan Ike Farida dalam rentang waktu Februari – Desember 2020.
Dalam percakapan WAG tergambar bahwa Nurindah, Kuasa Hukum Ike Farida pada saat itu, secara rutin memberikan laporan, meminta pendapat dan meminta persetujuan terkait langkah-langkah yang akan atau telah dilakukannya sehubungan dengan pengajuan peninjauan kembali dan sidang sumpah novum.
Nurindah selaku kuasa hukum digambarkan selalu berkordinasi dan minta persetujuan kepada seseorang yang dipanggil ‘Sensei’ (dalam bahasa Jepang berarti guru). Sensei ini juga terdengar sebagai seorang pimpinan yang mengontrol setiap tindakan Nurindah. Ahli menyebut bahwa Sensei ini tidak lain adalah terdakwa Ike Farida.
“Saya memeriksa percakapan Whatsapp group (WAG) antara Nurindah dengan anggota group yang membicarakan permohonan memori peninjauan kembali dan sidang sumpah novum,” kata Saji Purwanto di muka persidangan. (bwo)