
INDOPOS–Jakarta-Sidang perkara perdata Nomor: 423/Pdt.G/2024/PN Jkt.Brt di Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) kembali dilanjutkan dengan mendengar keterangan Pakar Hukum Acara Perdata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional, Prof. Basuki Rekso Wibowo, Perkara tersebut berawal dari gugatan Lulu Indrawati, Jauw Hok Guan, dan Handy Musawan (Para Penggugat) terhadap para pemilik sertifikat di Jl Daan Mogot, salah satunya seorang ibu berusia lanjut bernama Rosalina Soesilawati Zainal.
Para Penggugat mengklaim sebagai ahli waris dan kuasa dari pemegang hak atas bekas tanah adat berdasarkan Girik, disisi lain tanah tersebut telah diterbitkan sertifikat yang sebagiannya Sertifikat Hak Milik atas nama Rosalina Soesilawati Zaenal dan telah terdapat Putusan Inkracht Perdata dan Pidana yang memenangkan Ibu Rosalina.
Sehubungan dengan Sita Jaminan yang diajukan hanya berdasarkan Putusan Bantahan, ahli menyatakan seharusnya Sita Jaminan tidak perlu dikabulkan karena tanah tersebut telah bersertifikat dan terdapat Putusan Inkracht Perdata dan Pidana yang linier memenangkan pemilik sertifikat.
“Sita jaminan seharusnya tidak perlu dikabulkan” kata ahli dalam persidangan.
Selanjutnya Endar Sumarsono, S.H., M.H. selaku kuasa hukum Ibu Rosalina meminta pendapat ahli soal ada sekitar puluhan orang yang seolah-olah dari pengadilan melakukan pengrusakan plang dan sejumlah perlengkapan lainnya serta melakukan pendudukan tanah secara paksa, Prof. Basuki Rekso menegaskan, sita jaminan bukan seperti sita eksekusi.
“Pelaksanaan sita jaminan itu, ya cukup mendatangi lokasi objek yang disita, lalu membacakan penetapan dan menandatangani berita acara, cukup,” ucapnya. Artinya, tidak mengubah apapun kondisi objek yang disita. Menurutnya, harus dibedakan antara sita jaminan dengan eksekusi pengosongan. Itu merupakan dua hal berbeda.
Ia menegaskan, misalkan kalau sita jaminan diikuti oleh pendudukan atau pembongkaran atau pengrusakan, itu sudah menyimpang dari tujuan sita jaminan dan merupakan tindak pidana.
“Kalau ada pengrusakan, pasal pidananya kan ada. Pendudukan paksa tanah milik orang lain ada pasal pidananya. Itu menjadi otoritas daripada lembaga atau instansi yang berwenang untuk itu” ujarnya.
Endar lantas menanyakan siapa yang harus bertanggung jawab kalau pengrusakan dan pendudukan ini terjadi saat juru sita pengadilan melakukan tugasnya? Prof. Basuki Rekso mengatakan, siapa yang memerintahkan itu yang harus bertanggung jawab.
“Ini memang suatu risiko yang bisa terjadi di lapangan atas dinamika. Tetapi secara hukum, saya berpendapat, itu tidak boleh dilakukan, merusak, menguasai apalagi menggembok karena tujuan sita jaminan bukan itu” ujarnya.
Adapun salah seorang Kuasa Hukum Penggugat menanyakan terkait ketentuan daluwarsa dimana Ahli menyimpulkan jika orang telah mendiamkan tanahnya dikuasai orang lain selama 30 tahun dianggap melepaskan haknya.
“Mengutip Putusan Mahkamah Agung dan putusan pleno kamar artinya tidak hanya mengacu pada teks norma. Pleno kamar itu kan tafsir oleh Hakim Agung di Kamar itu sudah jelas, jadi selama 30 tahun tidak ada yang menyoal itu dengan sendirinya terjadi pelepasan hak, pasal yang mengatakan itu dan ditegaskan oleh Prof. Subekti” tutup Prof. Basuki Rekso.
Setelah persidangan Endar Sumarsono, S.H., M.H. juga menyampaikan terkait sita jaminan pihaknya telah mengajukan sanggahan atas permohonan sita dengan melampirkan bukti-bukti termasuk putusan yang menyatakan Ibu Rosalina sebagai pemilik tanah.
“Kami sudah menyampaikan sanggahan atas permohonan sita dengan melampirkan bukti bukti-bukti termasuk putusan yang menyatakan Ibu Rosalina sebagai pemilik tanah, namun Majelis Hakim tidak mempertimbangkan bukti-bukti kami dan tetap menjatuhkan sita”
Sementara itu Ibu Rosalina merasa sangat dirugikan namun tidak berdaya dan berharap proses hukum memberikan keadilan baginya, pasalnya tanah yang dimilikinya telah diduduki paksa oleh pihak lain sejak dilaksanakannya sita jaminan. (***)