INDOPOS-Prof. Dominikus Rato, turut menanggapi permohonan perkara uji materi (judicial review) Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengacu mengenai Masyarakat Hukum Adat. Melalui wawancara dengan channel Konstitusionalis TV, Prof. Dominikus Rato menyampaikan, uji materi terhadap undang-undang kementerian negara kaitannya dengan kementerian yang mengelola urusan masyarakat hukum adat, sangat-sangat substansial, pertama itu melaksanakan hak-hak Konstitusional yang diatur dalam pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jadi itu penting sekali.
“Jika itu bisa diwujudkan, permohonan itu bisa dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, ini menjadi sejarah MK membuat sejarah terhadap perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat,” ujarnya.
Jika ada kementerian hukum adat, kata Prof Dominikus, maka negara memberikan perhatian khusus terhadap masyarakat hukum adat, dan hak-hak tradisionalnya.
Saat ini, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masyarakat hukum adat itu, tersebar di berbagai peraturan kementerian, sehingga ada berbagai macam perundang-undangan di kementerian yang berbeda – beda. Sehingga tidak fokus mengelola urusan yang berkaitan dengan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.
Salah satu contohnya, ada direktur masyarakat hukum adat yang ada di Kemendikbud, yang seharusnya ini tidak di Kemendikbud, namun ada di kementerian khusus.
Yang kedua, di Bali, ada dinas yang memuat tentang masyarakat hukum adat. Nah ini penting, seandainya di Bali ini diangkat ke tingkat nasional, ini akan memberikan contoh yang bagus, mari kota berikan perhatian khusus, dikelola oleh Kementerian khusus, untuk mengelola urusan-urusan masyarakat hukum adat.
“Karena masyarakat hukum adat itu tidak hanya di Bali, namun ada di seluruh wilayah Indonesia. Dan mereka semuanya sangat perlu diperhatikan,” terang Prof Dominikus.
Permohonan uji materi ini sudah dilakukan persidangan pertama/pendahuluan, yang mendapat tanggapan atau saran dari hakim konstitusi, itu perlu kita ambil positifnya. Bahwa, hakim MK memberi kita kesempatan untuk kita memperbaiki permohonan atau isi gugatan. Yang pertama soal legal status dari pemohon. Yang kedua soal, bidang-bidang apa yang menjadi urusan kementerian jika kementerian itu dikabulkan permohonannya. Jangan sampai, saat kementeriannya sudah dibentuk, dikabulkan oleh MK, apa yang akan diurus malah belum siap. Sehingga, ini harus dipikirkan. Jadi saran hakim MK itu justru memberikan pedoman pada pemohon, agar benar-benar fokus pada siapa yang menjadi subyeknya, dan apa obyek perkaranya. Kita harus betul-betul fokus dan spesifik.
“Saya mengharapkan permohonan ini dikabulkan, karena ada banyak hal positif dan keuntungan yang diperoleh masyarakat. Yang pertama, putusan MK ini bisa memberikan inspirasi kepada DPR untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. Karena ini merupakan subyek hukum adat. Ini penting karena berkaitan dengan pasal 2 KUH Pidana. Karena pasal 2 KUH Pidana itu, negara ini kan mau membuat peraturan pemerintah tentang hukum tindak pidana adat, yang nantinya akan diatur dengan peraturan daerah (perda). Itu adalah obyeknya, tetapi subyek hukumnya siapa?
Oleh karena itu yang penting adalah, subyek hukum adat ini, yang namanya masyarakat hukum adat ini harus diberi undang-undang. Disahkan dulu status hukumnya sebagai subyek hukum. Karena, masalah hukum adat ini memiliki dua fungsi, yakni pertama sebagai subyek hukum adat, dan kedua sebagai legalfield, atau wilayah bekerjanya hukum adat,” paparnya.
Artinya, wilayah bekerjanya hukum adat ada diwilayah yang spesifik. Tidak dapat disamakan dengan wilayah hukum nasional. Dan sekarang negara sedang memperhatikan hukum adat. Baik yang diatir dalam pasal 2 KUH Pidana, maupun dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014. Jadi obyeknya diatur, tapi subyeknya tidak diatur.
“Sangat penting Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negarawan, untuk merealisasikan Pancasila, terutama dalam hal ini sila ke tiga, persatuan Indonesia,dari masyarakat yang berbhineka tunggal ika. Dan ini harus diberi dasar hukum,” terangnya. (wok)