
INDOPOS-Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum. dalam sambutannya menjelaskan bahwa perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam menjawab tantangan teori dan praktik hukum kepailitan dengan mengembangkan pendidikan, penelitian, dan kerja sama dengan industri. Dari sisi akademik, perguruan tinggi harus memastikan bahwa kurikulum hukum kepailitan tidak hanya berbasis teori, tetapi juga mencakup studi kasus nyata agar mahasiswa memahami bagaimana hukum kepailitan diterapkan dalam dunia bisnis. Selain itu, penelitian hukum yang dilakukan dapat berkontribusi dalam menyempurnakan regulasi kepailitan serta memberikan solusi bagi berbagai permasalahan yang muncul dalam praktik, seperti penyalahgunaan prosedur kepailitan atau kurangnya perlindungan bagi pihak-pihak tertentu. Perguruan tinggi juga dapat menjembatani dunia akademik dan industri dengan mengadakan seminar, pelatihan, dan kerja sama dengan praktisi hukum serta pelaku bisnis untuk memastikan bahwa hukum kepailitan dapat diterapkan secara lebih efektif dan berkeadilan di tengah dinamika ekonomi yang terus berkembang.
Kepailitan di era industri dapat menjadi peluang bagi pihak-pihak yang mampu memanfaatkan kondisi tersebut dengan strategi yang tepat. Ketika sebuah perusahaan bangkrut, asetnya sering dijual dengan harga murah, memberikan kesempatan bagi investor atau perusahaan lain untuk mengakuisisi aset tersebut dengan biaya rendah. Selain itu, kepailitan juga membuka peluang bagi perusahaan yang lebih sehat untuk memperluas pasar mereka dengan mengambil alih pelanggan atau pangsa pasar yang sebelumnya dimiliki oleh perusahaan yang bangkrut. Dalam beberapa kasus, restrukturisasi perusahaan yang hampir pailit juga bisa menjadi strategi untuk menyelamatkan bisnis dan menciptakan efisiensi yang lebih baik.
Namun, kepailitan juga merupakan ancaman yang serius, terutama bagi pekerja, pemasok, dan sektor industri terkait. Perusahaan yang mengalami kebangkrutan sering kali harus melakukan pemutusan hubungan kerja massal, yang dapat berdampak negatif terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, bagi pemasok dan mitra bisnis, kepailitan dapat menyebabkan terganggunya rantai pasokan, pembayaran yang tertunda, atau bahkan kerugian finansial yang signifikan. Industri yang memiliki tingkat kepailitan tinggi juga dapat mengalami penurunan kepercayaan investor, sehingga sulit mendapatkan pendanaan baru. Oleh karena itu, perusahaan harus memiliki strategi manajemen risiko yang baik agar dapat bertahan dan beradaptasi dengan dinamika industri yang terus berubah.
Seminar ini akan berlansung selama 2 jam dengan pembicara antara lain Dr. Azet Hutabarat, S.H., M.H, Ragan V. Antariksa, S.H.,M.Kn, Dr. Joko Sriwidodo,S.H.,M.H.,M.Kn., Prof. Dr. Alum Simbolon, S.H., M.Hum, Dr. Lenny Nadriana, S.H., M.H. dan Dr.Erwin Syahruddin,S.H.,M.H.
Dr. Azet Hutabarat, S.H., M.H. menjelaskan bahwa restrukturisasi merupakan upaya untuk menyelamatkan perusahaan dari kepailitan dengan melakukan perubahan dalam aspek keuangan, operasional, dan manajerial. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kesehatan finansial perusahaan, meningkatkan efisiensi, serta memastikan kelangsungan bisnis agar tetap berjalan. Restrukturisasi bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti negosiasi ulang dengan kreditur, pengurangan utang, atau perubahan struktur organisasi agar lebih adaptif terhadap kondisi pasar. Dengan strategi yang tepat, restrukturisasi dapat menjadi solusi bagi perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan untuk bangkit kembali tanpa harus mengalami kebangkrutan total.
Selain itu, Dr. Azet juga menekankan bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) bisa menjadi solusi bagi perusahaan yang masih memiliki potensi untuk kembali sehat. PKPU memberikan waktu bagi perusahaan untuk merestrukturisasi utangnya dan melakukan negosiasi dengan para kreditur agar bisa mendapatkan kesepakatan pembayaran yang lebih ringan atau fleksibel. Dalam proses ini, perusahaan tetap memiliki kesempatan untuk beroperasi dan meningkatkan kinerjanya tanpa tekanan langsung dari kewajiban pembayaran yang besar. Namun, agar PKPU efektif, diperlukan kerja sama yang baik antara perusahaan, kreditur, serta pihak-pihak terkait untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dan mencegah kepailitan yang lebih dalam.
Ragan V. Antariksa, S.H., M.Kn. menjelaskan bahwa mencegah ancaman kepailitan memerlukan mekanisme yang terstruktur, mulai dari manajemen keuangan yang baik hingga kebijakan hukum yang mendukung. Salah satu langkah utama adalah dengan melakukan analisis keuangan secara berkala untuk mengidentifikasi potensi masalah sebelum menjadi krisis. Selain itu, perusahaan perlu menerapkan strategi restrukturisasi utang lebih awal jika mulai mengalami kesulitan likuiditas, seperti renegosiasi dengan kreditur atau mencari sumber pendanaan alternatif. Dari sisi hukum, perusahaan dapat memanfaatkan skema perlindungan hukum seperti Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk mendapatkan waktu lebih dalam menyusun strategi pemulihan. Selain itu, transparansi dalam laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) juga menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan investor serta kreditur, sehingga perusahaan dapat menghindari kondisi yang berujung pada kepailitan.
Dr. Lenny Nadriana, S.H., M.H. menjelaskan bahwa perguruan tinggi memiliki peran penting dalam membumikan hukum kepailitan agar lebih dipahami dan diterapkan secara efektif di dunia industri. Tujuannya adalah untuk mencetak lulusan yang tidak hanya memahami aspek teoritis hukum kepailitan tetapi juga mampu mengaplikasikannya dalam praktik bisnis. Perguruan tinggi dapat menyesuaikan kurikulumnya dengan kebutuhan industri, seperti memberikan pemahaman tentang restrukturisasi perusahaan, mekanisme PKPU, serta regulasi terkait kepailitan yang terus berkembang. Selain itu, melalui penelitian dan kerja sama dengan pelaku industri, perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam menciptakan kebijakan hukum yang lebih adaptif dan solutif bagi perusahaan yang menghadapi risiko kepailitan. Dengan demikian, lulusan hukum dapat menjadi profesional yang siap menghadapi tantangan dunia industri serta membantu perusahaan dalam mengelola risiko hukum secara lebih efektif.
Dr. Joko Sriwidodo, S.H., M.H., M.Kn. menjelaskan bahwa dalam hukum kepailitan, baik debitor maupun kreditor dapat menghadapi ancaman pidana jika terbukti melakukan tindakan yang melanggar hukum. Bagi debitor, ancaman pidana dapat muncul jika mereka dengan sengaja melakukan perbuatan curang seperti menyembunyikan aset, memalsukan laporan keuangan, atau melakukan tindakan yang merugikan kreditur sebelum atau selama proses kepailitan. Sementara itu, bagi kreditor, ancaman pidana dapat terjadi jika mereka melakukan tindakan yang tidak sah, seperti pemaksaan, manipulasi proses kepailitan, atau praktik penagihan yang bertentangan dengan hukum. Hukuman bagi pelanggaran ini dapat berupa denda, sanksi administratif, hingga pidana penjara, tergantung pada tingkat kesalahannya. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terlibat dalam kepailitan untuk bertindak secara jujur dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari konsekuensi pidana.
Prof. Dr. Alum Simbolon, S.H., M.Hum. menjelaskan bahwa hukum korporasi memiliki keterkaitan erat dengan kepailitan karena mengatur berbagai aspek dalam kehidupan suatu perusahaan, termasuk tanggung jawab direksi, pemegang saham, serta hubungan dengan kreditur. Dalam hukum korporasi, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur bagaimana perusahaan harus dikelola agar tetap sehat secara finansial dan terhindar dari kepailitan, seperti tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan kepatuhan terhadap regulasi keuangan. Jika sebuah perusahaan mengalami kebangkrutan, hukum korporasi juga berperan dalam menentukan mekanisme penyelesaian utang, perlindungan terhadap hak-hak kreditur dan pemegang saham, serta tanggung jawab direksi jika ditemukan unsur kelalaian atau penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang hukum korporasi menjadi kunci bagi pelaku bisnis dalam mengelola risiko kepailitan serta memastikan keberlanjutan usaha mereka di tengah dinamika industri yang terus berubah.
Dr. Erwin Syahruddin menjelaskan bahwa sektor-sektor yang sering terdampak pailit umumnya adalah industri padat modal seperti manufaktur, konstruksi, perbankan, serta ritel, yang sangat bergantung pada arus kas dan stabilitas ekonomi. Sektor-sektor ini rentan terhadap kepailitan karena ketergantungan mereka pada pembiayaan eksternal dan fluktuasi pasar. Selain itu, dalam praktiknya, penyelesaian kepailitan sering kali tidak dilakukan secara proper, di mana resolusi bisnis yang seharusnya bertujuan untuk memberikan solusi terbaik bagi semua pihak justru disalahgunakan. Banyak ditemukan motif tersembunyi, seperti penyalahgunaan proses kepailitan oleh debitor untuk menghindari kewajiban atau oleh kreditur untuk mengambil alih aset dengan cara yang tidak adil. Hal ini menyebabkan proses kepailitan tidak berjalan secara transparan dan berkeadilan, sehingga merugikan pihak yang seharusnya mendapatkan haknya dalam penyelesaian utang perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang lebih ketat dan kebijakan yang lebih jelas untuk mencegah penyalahgunaan sistem kepailitan. (***)