INDOPOS-Aktivis Politik Sosial dan Kebudayaan Betawi Muhidin Muchtar, mengecam keras langkah Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, yang melakukan pergantian jajaran pejabat, mulai dari walikota hingga camat, di lingkungan Pemprov DKI, di masa perhelatan Pilkada 2024. Menurut Muhidin, hal itu berpotensi membuat gaduh dan merusak suasana pilgub yang kondusif.
“Kami mengecam langkah PJ Gubernur Teguh yang melakukan pergantian pejabat di dalam suasana pilkada, hal ini menimbulkan kegaduhan dan kecurigaan terhadap keberpihakan PJ Gubernur Teguh kepada salah satu bakal calon,” ujar Muhidin pada wartawan, Kamis (14/11/2024).
Muhidin juga menyoroti kebijakan Teguh, yang meniadakan perwakilan Betawi dalam kepemimpinannya. Contohnya, walikota dari Betawi yg tersisa cuma walikota jakarta timur, saat ini mau di geser juga. “Ini bentuk penghinaan PJ Gubernur terhadap kaum betawi, seperti sama yg di lakukan Heru Budi saat mengganti sekda Marulloh Matali,” tegasnya.
Pengganti Walikota Jakarta Timur belum ada, sehingga sangat dipertanyakan mengapa harus diganti buru-buru. Apa lagi, untuk menetapkan seorang walikota diperlukan fit and proper test. Kalau hanya diganti dengan pelaksana tugas (Plt) tentu kinerjanya akan tidak maksimal.
“Dan di surat yg beredar tdk di sebutkan pengganti nya, sedikit lg mau minggu tenang pilkada, harus nya.pj gubernur bisa bersikap ” tenang” juga spy suasana jakarta kondusif, ” katanya.
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, dikabarkan akan melakukan pergantian terhadap sejumlah pejabat.
Rencana mutasi ini menimbulkan kecurigaan publik terkait kemungkinan adanya motif politik, terutama dalam suasana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024.
Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia (UI), Ade Reza Hariyadi, mengatakan isu itu mengindikasikan adanya agenda tersembunyi untuk memanfaatkan mutasi sebagai upaya mendukung calon tertentu melalui distribusi bantuan sosial (bansos).
Menurutnya, hal ini bertentangan dengan rekomendasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi 2 DPR, yang sebelumnya menyarankan agar distribusi bansos dihentikan selama masa pilkada.
“Kemendagri perlu melakukan pengawasan terhadap rencana pergantian pejabat ini, guna menghindari potensi politisasi yang dapat memberikan keuntungan pada pasangan calon tertentu,” kata Reza.
Jika terjadi politisasi, maka hal tersebut akan mengganggu prinsip netralitas birokrasi serta mencederai demokrasi yang sehat.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Pasal 71 ayat (2) melarang kepala daerah melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon hingga akhir masa jabatan, kecuali dengan persetujuan menteri. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat berujung pada sanksi pidana sesuai Pasal 190. (bwo)