
INDOPOS-Mayor Jenderal TNI Purn Prijanto, turut berkomentar, terkait sikap Presiden Prabowo Subianto melalui Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan Wiranto, atas 8 usulan Forum Purnawirawan TNI.
Menurut Prijanto, sikap Presiden Prabowo yang menghormati dan memahami pikiran-pikiran itu, tidak lepas dari latar belakang dan satu almamater yang sama antara Presiden dengan para purnawirawan prajurit TNI.
“Presiden Prabowo dengan para Purnawirawan TNI itu kan satu perjuangan dan pengabdian, yang tentunya memiliki sikap dan moral sama, yang dijiwai nilai-nilai Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, Itu semua cerminan adanya jiwa korsa”, ujar Prijanto, saat diskusi Quovadis Amandemen UUD 1945, Sabtu (4/5/2025).
Sedang soal usul pergantian Wapres Gibran, kata Prijanto, memang cukup disampaikan singkat kepada Presiden. Usulan singkat tersebut bukannya para purnawiran tidak paham prosedur dan mekanismenya. Justru purnawirawan merasa tidaklah elok jika penyampaiannya detail seperti mendikte. Dalam hal ini, para purnawirawan tentu punya alasan kuat atas usul tersebut, yang tentunya demi kepentingan bangsa dan negara,” imbuh Prijanto.
Mengenai urgensi Dekrit Presiden yang ditawarkan panitia yang dicantumkan dalam undangan untuk dibahas dalam FGD, dikembangkan oleh Prijanto dengan menanyakan kepada forum. Instrumen apa saja untuk kita bisa kembali ke UUD 1945 ?
Dari peserta FGD diperoleh jawaban dengan beberapa alternatif cara yang bisa ditempuh : (1) Sidang MPR, (2) Revolusi, (3) Dekrit Presiden, dan (4) Referendum.
Atas jawaban tersebut, Prijanto memberikan komentar atau pendapat sebagai berikut :
Melalui sidang MPR, tidaklah logis dan tidak adil. Sebab, MPR bukan Lembaga Negara tertinggi dan bukan representatif rakyat Indonesia. Ada golongan-golongan dari bangsa Indonesia yg ditinggalkan atau tidak duduk di MPR.
Dengan demikian, MPR merupakan lembaga yang tidak memenuhi rasa keadilan. Menurut filsuf John Rawls, dalam Teori Keadilan, sebaik dan seperti apapun elegannya suatu organisasi atau lembaga, tetapi jika tidak memenuhi rasa keadilan, maka harus dihapus. Atas dasar teori keadilan itulah Prijanto menilai, MPR tidaklah logis jika utak atik konstitusi, walau ada pasal 37 mengaturnya.
Cara revolusi, ditanggapi Prijanto tidaklah mungkin. Rakyat tidak memahami soal konstitusi. Ilustrasi yang diberikan adalah demo-demo tentang konstitusi di Jakarta, yang belum bisa menarik massa kelas menengah ke bawah.
Melalui referendum, Prijanto mengomentari, bahwa dalam perspektif akademis, referendum adalah cara yang mencerminkan langkah yang demokratis. Namun, referendum itu berbahaya, karena seperti halnya Pemilu dan Pilpres, siapa yang punya uang berlimpah dia yang menang. Cara ini sangat berbahaya, karena rakyat masih belum paham persoalan konstitusi, sehingga hasilnya tidak akan valid. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan dan dihindari.
Ada Peserta FGD yang menyampaikan pikirannya bahwa Presiden Prabowo di dukung oleh banyak parpol. Dengan demikian apabila koalisi parpol tersebut menyadari UUD 2002 tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan outcome-nya buruk tentunya
mereka sepakat bila Presiden mengeluarkan Dekrit.
Terkait Dekrit Presiden, dari seorang peserta FGD berpendapat, jika sekarang Presiden keluarkan dekrit, maka dalam tempo 5 bulan Presiden bisa lengser.
Mencermati pemikiran yang berkembang di atas, di akhir pembicaraannya, Prijanto menawarkan satu instrumen untuk kembali ke UUD 1945, yang diberi nama “Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan”. Instrumen yang ditawarkan Prijanto tersebut telah ditulis dalam bukunya yang berjudul “Untaian Butir-Butir Mutiara Konstitusi Indonesia”.
Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan, pada hakikat kombinasi dari instrumen konvensi dan musyawarah, referendum, dan Dekrit Presiden.
Konvensi dan musyawarah dilakukan oleh para pimpinan supra struktur politik dan infra struktur politik di seluruh indonesia. Hasilnya disampaikan kepada Panglima TNI untuk mendapatkan dukungan, yang selanjutnya dimohonkan Presiden untuk mengeluarkan Dekrit.
Dengan demikian, Dekrit Presiden tersebut, hakikatnya atas kehendak rakyat, begitu pula isinya juga kehendak rakyat. Bukan kehendaknya Presiden. Insya Allah, semua pimpinan supra dan infra struktur politik sepakat untuk Kembali ke UUD 1945, Untuk Disempurnakan Dengan Adendum, itulah harapan Prijanto. Aamiin. (*)