INDOPOS-Direktur Eksekutif CBA (Center Budget of Analisis) Uchok Sky Khadafi menduga, adanya oknum anggota DPRD DKI Jakarta, yang menggunakan wacana peraturan larangan rokok di tempat hiburan, sebagai ancaman, terhadap pengusaha tempat hiburan agar pengusaha tersebut “membayar setoran cuan” agar larangan tersebut tidak dimasukkan dalam Raperda.

CBA mengendus adanya indikasi, bahwa wacana ini bisa dijadikan alat tekanan terhadap pengusaha hiburan agar “setoran cuan”.

“Banyak risiko negatif dari aturan yang ngawur ini. Di antaranya dapat membuat usaha hiburan malam terpuruk; PHK; pendapatan APBD dan cukai rokok berkurang atau anjlok,” ujarnya.

Sementara itu, Ramdan Alamsyah, Pengacara Betawi, mengingatkan adanya indikasi jual beli pasal dalam Raperda larangan merokok. Hal itu sangat berbahaya, karena dapat mematikan dunia usaha.

“Hat-hati, jangan melukai hati rakyat. Jangan matikan usaha kecil (UMKM), karena adanya pasal titipan atau pasal pancingan untuk dibuat sebagai bahan tawar menawar,” kata Ramadan.

Ketua Forum Betawi Rempug (FBR), KH. Lutfi Hakim, dalam artikel yang dimuat di media online “kaumbetawi.com”, menyampaikan, Hiburan malam bukan ruang terbuka umum seperti taman kota atau halte bus. Tempat ini bersifat tertutup, berbayar, dan hanya dapat diakses oleh orang dewasa. Oleh karena itu, pembatasan kegiatan di dalamnya — termasuk larangan merokok — perlu mempertimbangkan konteks ekonomi, sosial, dan budaya yang menyertainya.

Data dari Kementerian Keuangan dan Laporan LKPP terkait Realisasi APBN 2024 menunjukkan bahwa penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp 226,4 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan dividen BUMN yang hanya sebesar Rp 86,4 triliun. Kontribusi besar ini menunjukkan bahwa industri hasil tembakau, meskipun penuh kontroversi, tetap menjadi pilar penting dalam struktur keuangan negara.

Cukai rokok juga berperan dalam mendanai sektor kesehatan melalui BPJS, membiayai infrastruktur publik, serta menopang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang disalurkan ke daerah. Menutup ruang konsumsi yang legal dan terbatas tanpa pertimbangan menyeluruh justru bisa menjadi kebijakan yang kontraproduktif.

Selain aspek penerimaan negara, ada risiko besar yang perlu diperhitungkan, yaitu migrasi pelaku usaha dan konsumen ke luar Jakarta. Saat ini, kawasan seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 dan 2 di wilayah Banten sedang gencar melakukan branding regional untuk menjadi magnet baru bagi hiburan malam dan gaya hidup masyarakat urban. Fenomena ini sering disebut dengan istilah seperti “dede gemes PIK” atau “kokoh-kokoh PIK”, yang membedakan gaya anak PIK dengan Jakarta Timur. Jika Jakarta menerapkan aturan yang terlalu ketat dan kaku, bukan tidak mungkin aktivitas ekonomi malam akan bergeser ke PIK.

Migrasi ekonomi ini bukan ancaman tanpa dasar. Hal ini berpotensi mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD), menurunkan serapan tenaga kerja, dan melemahkan posisi Jakarta sebagai kota metropolitan yang dinamis dan terbuka. Lebih dari itu, Jakarta bisa kehilangan daya saingnya dalam sektor pariwisata, budaya, dan gaya hidup.

Kebijakan KTR tetap harus dijalankan secara tegas, tetapi pelaksanaannya perlu membedakan antara ruang publik terbuka dan tempat hiburan malam yang bersifat tertutup. Beberapa pendekatan alternatif yang dapat diterapkan antara lain: