INDOPOS-Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Dosen Ilmu Hukum dan Kriminologi Indonesia (ADIHGI) bekerja sama dengan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UBHARA JAYA) menggelar Seminar Nasional bertajuk “Restorative Justice: Konsep, Implementasi, dan Potensi Permasalahan” di Kampus UBHARA JAYA, Kota Bekasi, Sabtu (13/9).
Acara ini dihadiri
Irjen. Pol. (Purn) Prof. Dr. Drs. Bambang Karsono, SH., MM., Ph.D., D.Crim (Rektor Ubhara Jaya)
Prof. Dr. Laksanto Utomo, SH., M.Hum (Dekan Fakultas Hukum Ubhara Jaya)
Prof. Dr. Adrianus E. Sembiring Meliala, M.Si., M.Sc., Ph. D
Prof. Dr. Hamidah Abdurrachman, SH., MH
Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, SH., MH
Irjen. Pol. (P) Dr. Ronny F. Sompie, SH., MM
Dr. Drs. Edi Saputra Hasibuan, S.H., M.H
Moderator: Dr. Lusia Sulastri, SH., MH
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Dosen Ilmu Hukum dan Kriminologi Indonesia (ADIHGI) Dr. Drs. Edi Saputra Hasibuan, S.H., M.H, menyampaikan, Forum akademik ini menjadi kesempatan berharga untuk: Memperdalam pemahaman tentang restorative justice sebagai paradigma penegakan hukum yang lebih humanis dan solutif. Membangun jejaring akademik hukum tingkat nasional.
Asosiasi ini dibentuk untuk meningkatkan ilmu para dosen, agar sesuai hukum dinamis. Anggotaanya adalah para dosen dari PPN dan PPS jurusan hukum.
Ke depannya ada perwakilan daerah-daerah.. Tapi praktisi juga bisa, selama ada kaitan dengan hukum.
Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun memiliki pandangan yang mendukung prinsip dasar restorative justice karena manfaatnya bagi korban dan masyarakat, namun mengkritisi penerapannya yang dianggap bisa menguntungkan orang kaya atau justru menjadi jalan kriminalisasi jika tidak hati-hati, seperti yang terjadi pada kasus tertentu yang ia contohkan, seperti kasus kekerasan yang tidak bisa diselesaikan dengan cara ini.
Gayus Lumbuun mengatakan, semakin banyak perkara yang diselesaikan melalui restorative justice, dan menekankan bahwa konsep ini memberikan manfaat besar bagi korban dan masyarakat bawah untuk memulihkan hubungan yang rusak akibat tindak pidana.
Ia juga menyebutkan bahwa konsep restorative justice menimbulkan kontroversi, karena terkesan dapat digunakan oleh orang kaya untuk menghindari hukuman dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi, terutama jika penerapan tidak dilakukan dengan hati-hati.
Contoh dan Penerapan
Gayus Lumbuun menyatakan tidak setuju dengan penerapan restorative justice untuk kasus-kasus kekerasan, seperti kasus David yang melibatkan Mario dan teman-temannya, dengan alasan kasus tersebut tidak bisa diselesaikan melalui restorative justice.
Ia mengibaratkan restorative justice dengan penyelesaian kasus tabrakan yang tidak disengaja, di mana pelaku memperbaiki kondisi korban (misalnya dengan pengobatan) tanpa harus dipenjara, asalkan bukan kejahatan terhadap negara atau disengaja.
Dasar Hukum dan Tujuan
Konsep restorative justice didukung oleh beberapa peraturan, seperti Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, dan Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2012.
Tujuan utamanya adalah memulihkan hubungan yang rusak akibat tindak pidana, dengan mediasi antara pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait, yang pada akhirnya dapat memberikan rasa keadilan, menghemat biaya, dan mengurangi beban negara.
Prof. Dr. Laksanto Utomo, SH., M.Hum (Dekan Fakultas Hukum Ubhara Jaya), mengatakan, restorative justice merupakan konsep untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan menghindari dampak kerugian yang lebih besar.
Jika Tindak Pidana Atau Perbuatan Pidana ancamannya diatas 5 tahun, dan melawan rasa keadilan masyarakat pada umumnya, maka tidak bisa Restorative Justice. Contohnya, seperti kasus korupsi tindak pidana Korupsi dan TPPU pencucian uang tidak bisa Restorative Justice, karena melawan rasa keadilan masyarakat umum.
“Kalau kita melihat yang dimaksud restorative justice, kebijakan hukum pidana melalui pendekatan untuk menghindari dampak kerugian yang lebih besar dan meniadakan efek krisis yang timbul,” kata Laksanto.
Pria yang akrab disapa Laks ini, melanjutkan, sesuai pandangan mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun bahwa restorative justice ini menjadi sarana efektif dan efisien dalam optimalisasi pengembalian kerugian negara.
“Karena kalau diperhitungkan secara manajerial akunting apakah restorative justice ini efektif atau tidak, kita perlihatkan ke depan tanpa mengesampingkan rasa keadilan bagi masyarakat,” ujarnya.
Adapun tujuan pemberantasan korupsi, lanjut Laksanto, intinya untuk mengembalikan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Namun penegak hukum masih sangat jarang menetapkan korporasi sebagai tersangka korupsi untuk menarik kembali uang negara.
“Ini ada beberapa masukan terhadap penegakan hukum pidana korupsi terhadap pelaku korporasi,” ujarnya.
Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih jarang menjerat korporasi meskipun mempunyai kewenangan untuk itu dan korporasi merupakan subyek dari tindak pidana korupsi.
