
Hari koperasi yang jatuh pada tanggal 12 Juli tahun ini telah memasuki usia 77 tahun. Sejauh mana eksistensi koperasi hingga saat ini?
——
Seperti diketahui bersama pelaku ekonomi secara garis besar terbagi atas 3 bagian. Pelaku usaha milik negara/pemerintah (BUMN), usaha milik swasta/pribadi (PT baik skala besar maupun skala UKM) dan usaha yang milik banyak orang (koperasi). Ketiganya saling berlomba untuk terus eksis, maju dan berkembang. Baik secara kualitas dengan tumbuh menjadi besar juga secara kuantitas terus bertambah.
Kali ini mari kita fokus soal koperasi, mengingat hari koperasi selalu kita peringati. Bicara soal koperasi Indonesia sesungguhnya bukan hal yang baru. Keberadaan koperasi di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah koperasi dunia. Eksistensi koperasi sama tuanya dengan pelaku usaha lain. Koperasi dunia diawali pada tahun 1844. Seorang bangsawan yang bernama Charles Howard mendirikan koperasi di kampung Rochdale Inggris. Dengan layanan usahanya simpan pinjam (grameen bank). Koperasi yang didirikan Charles Howard sebagai anti tesis dari teori ekonomi kapitalis yang kala itu tengah pesat tumbuh dibuktikan dengan menjamurnya industrialisasi miliki pelaku usaha modal besar. Industrialisasi terjadi tak hanya di Inggris tapi juga di Prancis, Amerika Serikat, Jerman dan negara barat lainnya. Dari sini kemudian dikenal istilah ekonomi kapitalis yang bertujuan membangun kesejahteraan dan berkeadilan ekonomi. Yang pada kenyataannya ekonomi kapitaslis itu tak mampu menjawab soal keadilan ekonomi atau welfare state. Tak mampu menyelesaikan kesenjanngnaan kemiskinan di Masyarakat eropa kala itu.
Koperasi yang digagas Charles Howard atau dikenal Koperasi Rochdale mampu menjawab persoalan tersebut. Anggota yang tergabung dalam koperasi mampu membangun ekonomi secara gotong royong. Anggota yang membutuhkan modal usaha bisa meminjam ke koperasi dengan bunga lebih rendah dari pinjaman bank. Modal koperasi ikumpulkan dari mereka sendiri. Tidak hanya itu kebutuhan pokok lainnya pun mampu disediakan koperasi. Dengan harga yang lebih murah dari toko non koperasi.
Ide Charles Howard tentang pentingnya koperasi, akhirnya menyebar ke penjuru dunia, tak terkecuali juga ke Indonesia. Dipelopori oleh RA Wiriadmaja pada 1896 berdirilah koperasi pertama di Indonesia, tepatnya di Purwokerto dengan unit layanan simpan pinjam.
Dari sini virus koperasi terus menyebar. Koperasi muncul di berbagai daerah dengan bidang usaha beraneka ragam. Banyak tokoh-tokoh pergerakan terinspirasi oleh nilai-nilai kebaikan koperasi. Mereka lantang bicara tentang pentingnya ekonomi kerakyatan yang berkeadilan yang bisa dibangun lewat koperasi. Salah satu tokoh yang getol menggerakan pemikiran tersebut adalah Mohammad Hatta atau dikenal Bung Hatta. Sebagai seorang proklamator dan pemikir ekonomi, di masa awal-awal kemerdekaan Bung Hatta berupaya menggolkan koperasi masuk dalam UUD 1945. Maka pada pasal 33 ayat 1 disebutkan; “Perekonomi disusun sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan.”
Dalam penjelasan ayat tersebut dengan tegas menyatakan, badan usaha yang cocok dengan teks tersebut tak lain adalah koperasi. Dan dengan tegas juga disebutkan koperasi sebagai “Soko Guru” perekonomian nasional. Artinya, negara secara gamblang dan tegas harus memperjuangkan dan menjadikan koperasi sebagai bagian infrastruktur dalam membangun ekonomi negara. Hanya koperasi yang memiliki azas usaha kekeluargaan dan penggerak ekonomi kerakyatan. Salah satu bukti lini azas itu koperasi setiap tahun menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang dihadiri semua anggota. Adanya pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha) yakni, penyisihan keuntungan setelah dikurangi biaya operasional, modal dan cadangan. SHU itu dibagikan pada setiap anggota sesuai kontribusi pada kemajuan koperasinya.
Pada pelaku bisnis lain, hal itu tidak tercermin. Ambil contoh pada BUMN. Azas usaha yang dibangun tak lain hanyalah sebagai kasir negara. Sebagai intrumen pengumpul pundi-pundi keuangan negara. Begitu pun dengan usaha swasta azas utamanya adalah bagaimana memperkaya pemiliknya. Motif mewujudkan keserjahteraan orang banyak yang berkeadilan bukanlah tujuan utama. Kalau pun itu tercantum dalam misi setiap perusahan yakinlah itu hanya life service. Tujuan utamanya tetap yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya. Setelah tujuan itu tercapai barulah memberi untuk orang lain. Misalnya, lewat program sosial atau CSR (Customer Social Responsibility). Itu pun tak lebih 1% dari keuntungan perusahaan. Untuk itu berharap keberadaan BUMN dan perusahaan swasta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat sulit diwujudkan. Sebaliknya keberadaan koperasi bisa sebagai pilar atau instrument pembangunan ekonomi untuk mewujudkan cita-cita bernegara itu.
Diharapkan tapi Dicampakan
Sayangnya, keyakinan dan pemaahaman itu dari waktu ke waktu kian pudar. Walau koperasi masih tercantum piagam negara yang Bernama UUD negara. Oleh para penguasa koperasi hanya dijadikan kuda troya atau kuda tunggangan untuk melanggengkan kekuasaan. Koperasi hanya dijadikan komoditas politik.
Memang jumlah koperasi dari tahun ketahun tumbuh pesat. Awal kemerdekaan, pada secara kongres koperasi pada 12 Juli 1947 di Tasikmalaya, jumlah koperasi tercatat ada 574 unit koperasi dengan jumlah anggota 52.216 orang. Lalu, di jaman Orde Lama pada 1951 jumlah koperasi sebanyak 5.770 unit. Pada 1959 bertambah menjadi 16.601 unit dengan jumlah anggota hampir mencapai 1,5 juta orang. Sayangnya, dimasa Orde Lama koperasi hanya sebagai alat revolusi oleh Bung Karno. Peran koperasi sebagai badan usaha rakyat telah bergeser dan kehilangan peran jadi alat kepentingan politik pemerintah kala itu.
Di masa Orde Baru pun cara pandang pemerintah tak jauh berbeda. Banyak koperasi yang tumbuh dimasa Orde Lama disapu beresih atas nama rehabilitasi koperasi dari pengaruh komnunis. Dari 73.406 unit dengan jumlah anggota 11,7 juta orang dipangkas menjadi tinggal 13.949 unit dengan jumlah anggota tinggal 2,7 juta orang. Walau di masa Orde Baru koperasi Kembali tumbuh pesat diperkirakan mencapai 100 ribu unit lebih. Tapi angka itu tidak mencerminkan kualitas koperasi sesungguhnya. Lagi-lagi koperasi hanya dijadikan alat politik.
Demi stabilitas pembangunan, keamanan dan politik, setiap rakyat mulai petani, nelayan, pedagang, pegawai, anak-anak sekolah dan lapisan masyarakat wajib terdaftar dalam koperasi. Tak aneh dari Tingkat bawah menjamur Koperasi Unit Desa (KUD), Koperasi Pasar(Koppas), Koperasi Karyawan (Kopkar) dan lain-lain. Lalu koperasi lapir bawah itu wajib berhimpun ditingkat yang lebih atas. Ambil contoh, KUD ditingkat atas ada induknya ada Puskud hingga Inkud. Lalu dari induk-induk koperasi itu dihimpun lagi dalam satu wadah yang Bernama Dewan Koperasi Indonesai (Dekopin). Benar-benar terstruktur, bukan. Hal itu masih terjadi hingga kini. Walau di era reformasi banyak KUD atau koperasi secara umum bertumbangan.
Tapi dalam speak terjang dalam ekonomi tetap dibatasi. Dimasa Orde Baru hanya perpanjangan tangan penguasa. Koperasi hanya bisa menjalankan program-program perintah. Seperti, penyaluran pupuk subsidi, penyaluran kredit rakyat, membeli padi hasil panen petani, dan lain-lain. Sementara sektor-sektor bisnis yang vital, yang berhubungan dengan hajat orang banyak, seperti air, transportasi, listrik, pertambangan, komunikasi dan lain-lain diserahkan ke BUMN dan swasta. Kebijakan itu makin kuat lagi dimasa Orde Reformasi. Dari silih berganti pemerintah koperasi kian ditinggalkan. Demi mengejar pertumbuhan ekonomi BUMN dan swasta makin diberi peran lebih ekspansif.
Pemahaman tentang pentingnya koperasi kian hilang. Koperasi tak lebih dari prasasti yang tetap digantungkan pada UUD 1945. Jargon koperasi soko guru perrekonomian nasional tak lagi punya arti. Hanya dijadikan jargon politik. Rakyat kian dijauhkan dari pemahaman koperasi. Kalau sudah begini, koperasi yang merupakan basis ekonomi kerakyatan yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan ekonomi berkeadilan menjadi paradok. Sulit untuk bisa membuktikannya. Selagi setiap penguasa tak berminat membangun dan mendukung keberadaan koperasi.
Penulis : Tri Juwanto (Pemerhati sosial dan koperasi)