Oleh : Chris Nalenan (Ketua Umum Keluarga Besar Alumni Fisip UBK)
Pengantar :
Tulisan ini dibuat penulis dalam rangka kegiatan pelantikkan BEM Fisip Universitas Bung Karno (UBK) pada tanggal 24 Juni 2024, namun pesan yang penulis sampaikan bersifat umum, bukan hanya untuk mahasiswa UBK tapi juga untuk seluruh masyarakat.
1. Ada lima buku karya Bung Karno dan mengenai Bung Karno yang paling utama untuk memahami pemikiran dan tindakan Bung Karno. Buku pertama dan kedua adalah buku karya Bung Karno sendiri, yakni “Di Bawah Bendera Revolusi” (DBR) jilid pertama dan jilid kedua. DBR jilid pertama berisi tulisan-tulisan Bung Karno sejak beliau masih berusia 25 tahun, di tahun 1926 sampai sekitar tahun 1941. Sementara buku jilid kedua berisi kumpulan pidato Bung Karno dari tahun Revolusi 1945 sampai tahun 1966. Dari beberapa pidatonya yang terpenting, mungkin hanya pidato di depan pengadilan kolonial tahun 1930, yang kemudian diberi judul “Indonesia Menggugat”dan pidato lahirnya Pancasila di depan sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 yang tidak termuat dalam DBR.
Buku ketiga adalah “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang merupakan otobiografi Bung Karno yang dia ceritakan secara verbal kepada wartawan perempuan dari Amerika, Cindy Adams.
Buku keempat adalah buku karya Profesor asal Jerman, Bernhard Dahm berjudul “Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan”, buku ini merupakan biografi pemikiran Bung Karno yang paling lengkap, mengungkapkan secara detail bagaimana pemikiran Bung Karno terbentuk, dan tokoh-tokoh dan buku-buku yang mempengaruhi pemikiran Bung Karno.
Buku kelima adalah “Sukarno sebuah Biografi Politik,” karangan John D. Legge, buku ini membahas sepak terjang politik Bung Karno dari masa awal sejak memimpin PNI di tahun 1927 sampai masa akhir Bung Karno menjadi Presiden.
Ada beberapa buku lain yang cukup baik dalam membahas mengenai Bung Karno, seperti buku John Ingleson, “Jalan ke Pengasingan” dan juga buku Bob Hering, “Soekarno Bapak Indonesia Merdeka,” yang merupakan biografi Bung Karno dari tahun 1901 sampai 1945, tetapi tetap bagi saya yang terbaik untuk memahami Bung Karno adalah kelima buku di atas.
2. Dari pemahaman saya setelah saya membaca kelima buku karya Bung Karno dan mengenai Bung Karno di atas, saya memahami Bung Karno adalah sesosok intelektual. Bukan sekadar seorang pemimpin massa, tetapi juga seorang intelektual. Memang pada masa itu founding fathers kita kebanyakan juga berperan sebagai pemikir, namun Bung Karno adalah sosok intelektual yang sangat menonjol, primus inter pares dibanding lainnya.
3. Bung Karno sendiri bisa disebut sebagai Intelektual Organik. Dalam tradisi pemikiran Gramsci, ada dua jenis intelektual, tradisional dan organik. Intelektual tradisional adalah intelektual yang hanya menjadi menara gading, hanya sibuk dengan dirinya dan ilmunya sendiri, tanpa memikirkan bagaimana bisa melakukan perubahan di masyarakat. Sementara intelektual organik adalah intelektual yang selalu berjalan bersama rakyat, tidak hanya diam di kampus, tapi juga memikirkan bagaimana rakyatnya bisa berubah menjadi lebih baik dan sejahtera. Pemikiran-pemikiran Bung Karno juga merupakan pemikiran yang memiliki kaki, ide yang bisa diterapkan di masyarakat.
Para pemuda, gen Z khususnya bisa menjadikan kepemimpinan Bung Karno sebagai seorang intelektual organik menjadi contoh, jangan hanya belajar secara akademik, berharap mendapat pekerjaan dengan gaji yang besar, tapi juga harus selalu memikirkan nasib rakyat, yakni bagaimana melakukan perubahan di masyarakat.
4. “Ke Mana Para Ilmuwan Kampus,” adalah judul tulisan Profesor Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum dari FH UI di harian Kompas pada tanggal 18 Juni 2024. Saya akan mengutip agak panjang tulisan beliau :
“Terbatasnya kelahiran gerakan sosial di kampus hari ini, 26 tahun sesudah Reformasi 1998, dapat dicari penjelasannya dari hubungan itu. Tidak banyak muncul ilmuwan organik dan intelektual publik, yang memiliki watak cinta akan kebenaran dan menyuarakannya. Bahkan ada saja ilmuwan yang menyediakan diri menjadi pembenar bagi keberlangsungan kekuasaan, ikut terlibat, setidaknya tidak berbuat apa-apa, ketika elit penguasa menjadikan hukum sebagai alat rekayasa politik dan berkelindan dengan korupsi politik.”
Tulisan Prof. Sulis yang membahas bagaimana para intelektual kampus saat ini kebanyakan memposisikan diri sebagai intelektual tradisional dan tidak ada yang memposisikan diri sebagai intelektual organik. Hal ini terjadi selain karena kesadaran yang tidak ada, juga diperparah oleh kooptasi penguasa kepada kampus, baik itu kepada para pengajar maupun kepada mahasiswanya.
Tulisan Prof. Sulis ini harus menjadi perhatian kita bersama yang berada di lingkungan akademis, karena kooptasi penguasa dalam jangka panjang akan membuat kampus kembali teralienasi dari masyarakat seperti pada masa orde baru.
5. Terakhir, pesan saya di acara pelantikkan BEM Fisip ini, bagi para mahasiswa banyaklah membaca sastra. Selain buku teks yang memang berguna untuk lulus kuliah dan mencari kerja. Bacalah banyak buku-buku sastra dunia, Leo Tolstoy, Maxim Gorky, Anton Chekhov, Victor Hugo, Pramoedya Ananta Toer, Eka Kurniawan, Ahmad Tohari, Paulo Coelho, George Orwell, Haruki Murakami atau Miguel de Cervantes.
Sastra bukan hanya mengajari kita tentang kehidupan, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai humanisme, tentang bagaimana hidup bukan hanyalah masalah materi semata tetapi juga bagaimana masalah etis menjadi masalah yang penting dalam hidup.
Di dunia saat ini ketika kecerdasan buatan (artificial intelligence) mendominasi dalam banyak hal, menjadi pintar mungkin bukan suatu hal yang istimewa, karena sehebat-hebatnya kita untuk menjadi pintar, kita (manusia) tidak akan bisa menandingi AI. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dimiliki oleh AI, yaitu nilai-nilai etis, yang hanya bisa dimiliki oleh manusia. Karena itu, menurut Yuval Noah Harari, ke depannya mungkin kita tidak akan terlalu perlu para ilmuwan, tapi sosok yang kita perlukan adalah sosok Filosof yang bisa menyelamatkan planet bumi dari kehancuran.